Dengan jiwa perantau, anak memiliki mental pengemudi, bukan penumpang.
Jika anak Anda ingin menjadi seorang pengusaha sukses, maka harus memiliki jiwa perantau, yaitu bisa hidup mandiri di negeri orang. Jiwa perantau harus dilatih sejak Sekolah Menengah Atas (SMA).
Hal tersebut diungkapkan oleh Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia, Rhenald Kasali. Menurut dia, di negara-negara lain, khususnya Amerika Serikat, begitu menginjak 18 tahun, anak diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan student loan untuk kuliah. Dengan begitu, sang anak menjadi lebih bertanggung jawab.
"Di sini tidak ada. Akibatnya, anak jadi berlindung pada orang tua, mentalitas penumpang. Ujung-ujungnya berebut warisan orang tua," kata Rhenald di Jakarta, Kamis 5 Juli 2012.
Dengan jiwa perantau, dia melanjutkan, anak memiliki mental pengemudi, bukan penumpang. Mental penumpang tidak baik, karena membuat orang tidak kreatif. Sedangkan jiwa pengemudi mempunyai cara berpikir kritikal, kreatif, disiplin, dan bisa menyederhanakan masalah.
Untuk mempunyai jiwa perantau, sejak kecil sang anak harus dilatih menjadi pemenang. Dengan menjadi pemenang, maka sang anak mempunyai karakteristik yang solutif jika menemui masalah. Sayangnya, karakteristik looser masih mendominasi di Indonesia.
"Karakter looser itu cirinya mudah tersulut emosi, berpikir jangka pendek dan serba instan. Sedangkan karakter winner berpikir positif, kreatif, dan mencari jalan keluar," katanya.
Keluarga Indonesia masih banyak yang mengajarkan anak untuk menjadi penumpang, bukan pengemudi. Ia mencontohkan, jiwa perantau bisa dilatih dengan menyekolahkan anaknya di luar kota dan memaksa si anak hidup mandiri.
"Sayangnya di Indonesia, begitu anak di luar kota, dikasih berbagai fasilitas, seperti mobil. Alasannya tidak tega," katanya. (art)
Hal tersebut diungkapkan oleh Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia, Rhenald Kasali. Menurut dia, di negara-negara lain, khususnya Amerika Serikat, begitu menginjak 18 tahun, anak diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan student loan untuk kuliah. Dengan begitu, sang anak menjadi lebih bertanggung jawab.
"Di sini tidak ada. Akibatnya, anak jadi berlindung pada orang tua, mentalitas penumpang. Ujung-ujungnya berebut warisan orang tua," kata Rhenald di Jakarta, Kamis 5 Juli 2012.
Dengan jiwa perantau, dia melanjutkan, anak memiliki mental pengemudi, bukan penumpang. Mental penumpang tidak baik, karena membuat orang tidak kreatif. Sedangkan jiwa pengemudi mempunyai cara berpikir kritikal, kreatif, disiplin, dan bisa menyederhanakan masalah.
Untuk mempunyai jiwa perantau, sejak kecil sang anak harus dilatih menjadi pemenang. Dengan menjadi pemenang, maka sang anak mempunyai karakteristik yang solutif jika menemui masalah. Sayangnya, karakteristik looser masih mendominasi di Indonesia.
"Karakter looser itu cirinya mudah tersulut emosi, berpikir jangka pendek dan serba instan. Sedangkan karakter winner berpikir positif, kreatif, dan mencari jalan keluar," katanya.
Keluarga Indonesia masih banyak yang mengajarkan anak untuk menjadi penumpang, bukan pengemudi. Ia mencontohkan, jiwa perantau bisa dilatih dengan menyekolahkan anaknya di luar kota dan memaksa si anak hidup mandiri.
"Sayangnya di Indonesia, begitu anak di luar kota, dikasih berbagai fasilitas, seperti mobil. Alasannya tidak tega," katanya. (art)
sumber : http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/333026-trik-didik-anak-agar-jadi-pengusaha-sukses
Tidak ada komentar:
Posting Komentar